Sabtu, 20 Maret 2010

PERAWATAN PERIODONTAL PADA LANSIA YANG MENJALANI RAWAT INAP

Salah satu dari penelitian epidemiologi awal mengenai prevalensi penyakit periodontal dan tanggalnya gigi pada populasi dewasa di Amerika menunjukkan bahwa penyakit periodontal tidak umum terjadi sebelum usia 18 tahun, dan meningkat sejalan dengan usia. Setelah usia 40 tahun, terjadi kenaikan keadaan tak bergigi yang cepat dan pada usia 60 tahun, sekitar 60% gigi geligi sedah tanggal dan hanya 20% subjek yang masih bergigi. Keadaan ini menunjukkan bahwa kerusakan periodontal berhubungan dengan usia. Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa bukan ini masalah yang sebenarnya namun bahwa insidensi penyakit periodontal semakin kecil pada setiap pergantian generasi.1
Penelitian dari Amerika menunjukkan bahwa kira-kira 60% populasi berusia 65 tahun keatas masih mempunyai gigi sebagian, dengan rata-rata 19% gigi yang masih ada. Dari sampel yang dipilih dari penyelidikan ini, 90% memerlukan perawatan periodontal dari beberapa tipe seperti instruksi kebersihan mulut, skeling, dan perawatan akar untuk poket sedalam 3-6 mm. Hanya 1% dari kohort pasien ini yang mengalami pendarahan gingiva dan poket periodontal lebih besar dari 6 mm. penelitian Amerika lainnya, menunjukkan bahwa usia tidak langsung berhubungan dengan peradangan gingiva, akumulasi plak dan kalkulus, resesi gingiva, serta kedalaman poket periodontal.1
Perlunya memelihara kesehatan mulut tidak berhenti dengan bertambahnya usia dan melemahnya kesehatan umum. Sebaliknya, diketahui kesehatan mulut yang buruk pada lansia dan lemah menaikkan resiko terhadap gangguan medis. Kebanyakan lansia hidup sebagai individu yang mandiri dan sehat dalam masyarakat dan tidak menghadapi masalah dalam memperoleh perawatan gigi. Meskipun demikian, sebagian kecil lansia tinggal di rumah sakit atau tidak dapat meninggalkan rumah karena kelemahan fisik, medis, mental, atau kondisi psikiatrik . Proporsi lansia yang tidak dapat meninggalkan rumah atau tempat tidur karena kondisi tertentu yang membuat mereka tidak dapat memelihara diri sendiri adalah tidak jelas sebab tidak ada statistik nasional yang resmi mengenai kelompok usia ini.1
Faktor lainnya yang mempengaruhi retensi gigi pada lansia telah diteliti dengan menggunakan analisa regresi linear multiple. Variabel medis dan fisik relatif bukan merupakan faktor yang penting untuk menentukan proporsi dari gigi yang masih ada pada sampel populasi. Dapat disimpulkan dari penelitian ini bahwa kebutuhan akan perawatan periodontal pada lansia tidaklah banyak, meliputi plak kontrol yang teratur, saran diet makanan, dan pembersihan mulut secara profesional.1
Faktor – faktor sistemik seperti status kesehatan umum, gangguan fungsional, ingatan yang mulai memburuk, pengobatan dan fungsi biologis sebaiknya dievaluasi. Sikap dan harapan pasien juga harus dipertimbangkan. Kesuksesan perawatan membutuhkan kerjasama dari pasien, yaitu tidak hanya kemampuan menjaga kebersihan mulut pasien saja tetapi juga kemauan untuk datang kontrol kembali (baik perawatan aktif maupun perawatan suportif). Evaluasi terhadap sikap dan kemampuan fungsional juga penting untuk diperhatikan.2
Namun ini tidaklah sesederhana seperti kelihatannya. Beberapa lansia tinggal untuk waktu lama di rumah sakit akibat keadaan fisiknya yang semakin menurun sebuah servei menunjukkan bahwa pasien lansia yang masih bergigi dan tinggal di rumah sakit dalam jangka waktu yang lama mengalami kontrol plak yang buruk, peradangan serta inflamasi gingiva yang parah. Hal ini tentu saja berdampak pada kehilangan gigi serta memperburuh kondisi fisik dan mental dari pasien lansia tersebut. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai perawatan dan penanganan kesehatan gigi dan mulut lansia yang dirawat di rumah sakit sangatlah penting untuk menunjang peningkatan kwalitas hidup lansia.



II.1 Definisi Penuaan
Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2000).3
Lanjut usia (lansia) merupakan periode akhir dari rentang kehidupan manusia. Menghadapi periode ini beberapa lansia menjalani hidupnya bersama keluarga, ada juga yang hidup sendiri karena pasangan hidup mereka sudah meninggal atau juga tidak punya sanak saudara sama sekali. Kita juga dapat menemui lansia yang dirawat di rumah sakit akibat penyakit kondisi sistemik yang dialaminya.3
Batasan lanjut usia bervariasi, diantaranya sebagai berikut :3
1. Batasan usia menurut WHO meliputi :
􀂃 usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45 sampai 59 tahun
􀂃 lanjut usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun
􀂃 lanjut usia tua (old), antara 75 sampai 90 tahun
􀂃 usia sangat tua (very old), diatas 90 tahun
2. Menurut UU No. 4 tahun 1965 pasal 1 dinyatakan sebagai berikut :
“Seorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain”. Saat ini berlaku UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia yang berbunyi sebagai berikut: lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas.

II.2 Kondisi Jaringan Periodontal Secara Umum
Periodonsium mempunyai empat komponen yaitu gingiva, tulang alveolar, ligamentum periodontal, dan sementum.4
• Gingiva
Gingiva adalah bagian mukosa mulut yang mengellingi gigi dan menutupi lingir (ridge) alveolar. Merupakan bagian dari aparatus pendukung gigi, periodonsium, dan dengan membentuk hubungan denggan gigi, gingiva berfungsi melindungi jaringan dibawah perlekatan gigi terhadap pengaruh lingkungan rongga mulut.
a. Warna Gingiva
Gingiva sehat umumnya memiliki warna yang disebut "coral pink." Warna lain seperti merah, putih dan biru dapat menandai adanya peradangan (gingivitis) atau kelainan lain. Walaupun menurut text book warna gingiva disebut "coral pink", pigmentasi rasial normal membuat gingiva berwarna lebih gelap. Karena warna gingiva dipengaruhi pigmentasi rasial, kesepahaman dalam warna lebih penting daripada warna yang ada sebetulnya.
b. Kontur Gingiva
Gingiva sehat memiliki permukaan halus dan bergelombang di depan tiap gigi. Gingiva sehat menempati daerah interdental dengan tepat dan pas, berbeda dengan papilla gingiva yang membengkak yang terdapat pada gingivitis, atau embrasure yang kosong pada penyakit periodontal. Gusi yang sehat melekat erat pada tiap gigi, bentuknya meruncing seperti ujung pisau pada tepi marginal gingiva bebas. Dilain pihak, gusi yang meradang memiliki tepi yang menggembung atau bulat.
c. Tekstur Gingiva
Gingiva sehat bertekstur padat, tahan terhadap adanya pergerakan. Tekstur ini sering dideskripsikan sama seperti kulit jeruk. Gingiva yang tidak sehat teksturnya membengkak dan seperti busa.

d. Reaksi saat Probing
Gusi sehat umumnya tidak berekasi terhadap keadaan normal seperti penyikatan atau periodontal probing. Sebaliknya gusi yang tidak sehat akan menunjukkan adanya perdarahan ketika probing / Bleeding On Probing (BOP) dapat disertai timbulnya cairan purulen.

• Ligament periodontal
Ligament adalah suatu ikatan, biasanya menghubungkan dua buah tulang. Karena gigi berhubungan dengan soketnya pada tulang alveolar melalui struktur jaringan ikat, sehingga dapat dianggap sebagai ligament. Ligament periodontal tidak hanya menghubungkan gigi ke tulang rahang tetapi juga menopang gigi pada soketnya dan menyerap beban yang mengenai gigi.
a. Struktur
Ketebalan ligamen bervariasi dari 0.3 – 0,1 mm yang terlebar pada mulut soket dan apeks gigi, dan tersempit pada aksis rotasi gigi yang terletak sedikit apikal dari pertengahan akar. Pada keadaan sehat gigi mempunyai rentang gerakan yang normal. Bila stress fungsional besar ligament biasanya juga lebih tebal dan bila gigi tidak berfunsi ligament akan menjadi tipis setipis 0.06 mm. dengan terjadinya proses penuaan ligament akan menjadi lebih tipis. Ligament terdiri dari serabut jaringan ikat yang tersusun dengan teratur pada matriks substansi dasar yang dilewati pembuluh darah dengan saraf. Selain bundle serabut utama ada beberapa bundle kolagen yang tersusun kurang teratur dan serabut oksitalan yang merupakan serabut elastic yang belum matang.
Struktur kolagen akan terus menerus mengalami remodeling misalnya melalui resorpsi serabut lama dan pembentukan serabut baru dan fibroblast ikut berperan dalam kedua proses itu.


• Sementum
Sementum adalah jaringan ikat kalsifikasi yang menyelubungi dentin akar dan tempat berinsersinya setabut bundle kolagen. Terdiri dari serabut kolagen yang tertanam di dalam matriks organic yang terkalsifikasi. Kandungan organiknya yaitu hidroksi aptatit lebih kecil dari tulang hanya sekitar 45%.
Ada dua tipe sementum yaitu:
a. Sellular yang mengandung sementosit seperti osteosit pada tulang
b. Aselular lapisan permukaan yang tipis sering terbatas hanya pada bagian servikal akar.
Ketebalan terbesar pada apeks akar dan pada furkasi. Dengan adanya atrisi misalnya ausnya permukaan oklusal gigi deposisi kompensasi dari sementum apical akan berlangsung.

• Tulang alveolar
Prosesus alveolaris adalah bagian tulang rahang yang menopang gigi geligi. Sebagian bergantung pada gigi dan setelah tanggalnya gigi akan terjadi resorpsi tulang. Tidak akan terlihat pada waktu andonsia. Tulang ini terus menerus mengalami remodeling sebagai respon terhadap stress mekanis dan kebutuhan metabolisme terhadap ion fosfor dan kalsium. Tepi puncak tulang alveolar biasanya berjalan sejajar terhadap pertautan amelosemental pada jarak yang konstan (1-2 mm), tetapi hubungan ini biasanya bervariasi sesuai dengan aligmen gigi dan kontur permukaan akar.

II.3. Kondisi Jaringan Periodontal Pada Lansia1
II.3.1. Efek Usia
Jaringan periodontal meliputi gingiva (epitel dan jaringan ikat), ligament periodontal, tulang alveolar dan sementum. Jaringan ini secara keseluruhan dipengaruhi oleh perubahan usia. Makna klinis dari perubahan tersebut baru saja ditentukan dalam beberapa kasus.
a. Epitel
Epitel mulut bertambah tipis sejalan dengan usia, kurang berkeratin, dan terdapat peningkatan kepadatan sel. Sambungan antara epitel dan jaringan ikat juga berubah sesuai usia dan sambungan (antarmuka) tipe lingir (ridge) menjadi tipe papila. Belum diperoleh kejelasan tentang efek dan usia pada aktivitas mitotik epitel mulut. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan mitosis sejalan usia, beberapa lainnya melaporkan kecepatan mitosis yang tetap, dan ada juga yang menunjukkan penurunan aktivitas. Perbedaan ini mungkin berhubungan dengan tingkat peradangan yang ada pada jaringan sebelum hasil penelitian diperoleh.

b. Jaringan ikat
Dewasa ini telah diketahui bahwa kulit menunjukkan perubahan yang jelas sejalan dengan usia, sebagai contoh, munculnya keriput dan hilangnya elastisitas. Gambaran ini sebagian besar disebabkan oleh hilangnya lemak subkutan. Jaringan gingiva tidak mengandung lemak seperti itu dan oleh sebab itu perubahan yang nyata tidak terlihat. Meskipun demikian, perubahan akibat usia ditemukan pada jaringan ikat gingiva, dan mencakup perubahan tekstur dan halus menjadi lebih padat dan jaringan bertekstur kasar. Komponen selular dari jaringan ikat juga berkurang sejalan dengan bertambahnya usia.

c. Ligament periodontal
Komponen jaringan ikat pada ligament periodontal juga mengalami perubahan akibat usia. Komponen serabut dan sel menurun sementara struktur ligament menjadi lebih tidak teratur. Perubahan lain pada struktur ini termasuk penurunan kepadatan sel dan aktivitas mitosis, penurunan produksi matriks organik, dan hilangnya asam mukopolisakarida.
Namun penemuan lebih lanjut tentang efek dan usia pada lebar ligament periodontal ternyata bertentangan. Beberapa penelitian melaporkan peningkatan sejalan dengan usia sementara yang lain melaporkan penurunan. Bagaimanapun, sekarang telah dipastikan bahwa lebar dari ligament periodontal berhubungan dengan fungsi yang dibutuhkan oleh gigi. Faktor perbedaan beban oklusal mungkin merupakan penyebab hasil penelitian yang saling bertentangan ini. Oleh sebab itu, semakin sedikit gigi yang masih ada akan semakin besar proporsi beban oklusalnya. Hal ini akan mengakibatkan melebarnya ligament periodontal dan meningkatnya mobilitas gigi. Pada keadaan seperti ini gigi yang goyang tidak mesti mempunyai prognosis yang buruk. Juga telah dilaporkan bahwa tekanan pengunyahan menurun sejalan dengan usia, yang ikut berpengaruh pada penurunan lebar ligament periodontal.

d. Sementum
Pembentukan sementum, terutama aselular, terjadi terus-menerus sepanjang hidup dan peningkatan ketebalan yang sejalan dengan usia terlihat paling jelas di daerah apikal gigi. Temuan yang terakhir tersebut diperkirakan merupakan respons terhadap erupsi pasif. Sedikit penambahan pada remodeling sementum juga terjadi sejalan dengan usia dan ditandai dengan area resorpsi serta aposisi, yang mungkin ikut menyebabkan terjadinya peningkatan ketidakteraturan dari permukaan semental gigi lansia.


e. Tulang alveolar
Tulang alveolar menunjukkan perubahan sejalan dengan usia yang mencakup meningkatnya jumlah lamela interstitial, menghasilkan septum interdental yang lebih padat, dan menurunnya jumlah sel pada lapisan osteogenik dari fasia kribrosa. Dengan bertambahnya usia permukaan periodontal dari tulang alveolar menjadi tajam dan serabut kolagen menunjukkan insersi yang kurang teratur ke dalam tulang.

II.3.2. Penuaan dan Hilangnya Perlekatan
Pada keadaan sehat, sel apikal dari epitelium jungsional melekat pada pertautan semento-email. Tanda dari kerusakan periodontal adalah migrasi apikal dari epitelium jungsional. Meski demikian, masih ada kontroversi mengenai apakah usia turut menyebabkan migrasi apikal dan struktur ini seperti dibuktikan dengan meningkatnya kerusakan periodontal sejalan dengan usia. Jadi, sewaktu memeriksa pasien lansia dengan perlekatan yang rusak, harus dipertanyakan apakah hilangnya perlekatan akibat penyakit periodontal, atau bagian dari proses penuaan, atau keduanya.
Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa penuaan dihubungkan dengan resesi fisiologi dan bertahap dari jaringan gingiva, yang terjadi bersamaan dengan migrasi apikal dan epitelium jungsional. Penelitian ini mendukung teori erupsi pasif yang berkelanjutan, yang menyatakan bahwa resesi gingiva terjadi sebagai akibat migrasi oklusal dari gigi dengan adanya tinggi tepi gingiva yang stabil. Migrasi ini mengompensasi keausan oklusal.



Gambar 1. Atrisi, hilangnya perlekatan dan gingiva cekat. (a) ‘Normal’: tidak ada atrisi, tidak ada penyakit periodontal. (b) ‘Erupsi pasif’: perlekatan yang sebenarnya hilang akibat penyakit periodontal; atrisi dan erupsi kompensasi. (c) Erupsi kompensasi dentoalveolar: atrisi, tidak ada penyakit periodontal dan meningkatnya lebar gingiva cekat. (d) tidak ada erupsi kompensasi: ada atau tidak ada penyakit periodontal; atrisi menyebabkan berkurangnya tinggi permukaan oklusal.


Gambar 2. Rongga Mulut Pria berusia 60 tahun: (a) posisi interkuspal; (b) posisi istirahat-perhatikan tidak ada perlekatan yang hilang; erupsi dentoalveolar dan zona gingiva berkeratinin yang lebar. (Lihat Gambar Berwarna him. G-6).

Penelitian berikutnya menunjukkan bahwa gerakan ke oklusal dari gigi tidak mesti berhubungan dengan migrasi apikal dari epitelium jungsional, asalkan kesehatan gingiva baik. Telah ditunjukkan bahwa lokasi dari pertautan mukogingiva tidak berubah akibat penuaan, dan jika tidak ada resesi gingiva, lebar gingiva cekat bertambah sejalan dengan usia. Laporan ini mengarah pada kesimpulan bahwa epitelium jungsional tetap pada pertautan semento-email dan lebar gingiva cekat meningkat sejalan dengan usia akibat dari erupsi gigi atau kompleks dentoalveolar. Kejadian ini hanya terjadi jika jaringan periodontal dalam keadaan sehat. Ada beberapa bukti yang mendukung adanya migrasi apikal fisiologi dari epithelium jungsional sejalan dengan usia.

II.4 Pengaruh Sistemik Terhadap Jaringan Periodontal
Sejumlah penyakit dan kondisi sistemik dapat mempengaruhi prognosis periodontal secara keseluruhan. Diantaranya adalah :5,6
1. Diabetes Mellitus
Diabetes sebagian besar penelitian menemukan hubungan yang kuat antara diabetes tipe 1 dan 2 dengan penyakit periodontal. Ini bukanlah hal yang mengejutkan, karena telah diketahui bahwa diabetes dapat mengurangi resistensi terhadap infeksi dan menghambat proses penyembuhan. Jadi, pasien yang menderita diabetes, terutama diabetik yang tidak terkontrol dengan baik, akan memiliki prognosis keseluruhan yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien diabetes yang terkontrol dengan baik atau non-diabetik.
Gingivitis dan periodontitis. Selain ,merusak sel darah putih, komplikasi lain dari diabetes adalah menebalnya pembuluh darah sehingga memperlambat aliran nutrisi dan produk sisa dari tubuh. Lambatnya aliran darah ini menurunkan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi, sedangkan periodontitis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Jadi infeksi bakteri pada penderita diabetes lebih berat.
Ada banyak faktor yang menjadi pencetus atau yang memperberat periodontitis, di antaranya akumulasi plak, kalkulus (karang gigi), dan faktor sistemik atau kondisi tubuh secara umum. Rusaknya jaringan periodontal membuat gusi tidak lagi melekat ke gigi, tulang menjadi rusak, dan lama kelamaan gigi menjadi goyang. Angka kasus penyakit periodontal di masyarakat cukup tinggi meski banyak yang tidak menyadarinya, dan penyakit ini merupakan penyebab utama hilangnya gigi pada orang dewasa.

2. Ginjal
Memasuki usia tua, seseorang mengalami banyak kemunduran pada sistem organ tubuhnya. Berbagai penyakit sistemik seperti penyakit hati, ginjal, dan jantung menjadi hal yang menghantui banyak orang lanjut usia. Ketakutan akan penyakit-penyakit yang mengancam jiwa sayangnya membuat banyak orang menganggap kesehatan gigi dan mulut seolah-olah menjadi kurang penting. Padahal banyak penyakit yang berawal dari penyakit gigi dan mulut.
Satu di antaranya adalah penyakit ginjal, yang menjadi masalah kesehatan yang banyak terjadi di masyarakat namun sebagian besar penderita tidak menyadari adanya gejala-gejala penyakit tersebut pada tubuh mereka. Menurut National Kidney Foundation, satu dari sembilan orang dewasa di Amerika Serikat menderita penyakit ginjal kronik. Penyakit ini dapat mempengaruhi tekanan darah dan kesehatan tulang. Pada akhirnya penyakit ini dapat mengarah kepada penyakit jantung atau gagal ginjal. Dari beberapa laporan penelitian baru-baru ini, dilansir fakta bahwa faktor risiko seperti penyakit periodontal, kurangnya pendidikan dan pengetahuan tentang kesehatan, serta buruknya akses terhadap fasilitas dan sarana kesehatan sangat berkaitan dengan penyakit ginjal kronik.
Penyakit periodontal adalah penyakit pada jaringan pendukung gusi, di mana terjadi peradangan atau pun infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Dalam bahasa kedokteran peradangan jaringan periodontal disebut periodontitis, dalam tingkat lanjut periodontitis menyebabkan kerusakan tulang dan mengakibatkan kegoyangan gigi sehingga gigi akhirnya harus dicabut. Periodontitis merupakan penyebab utama hilangnya gigi pada orang dewasa.

3. Kondisi imunodefisiensi
Virus human immunodeficiency diketahui dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Infeksi periodontal termasuk dalam spektrum manifestasi infeksi HIV dalam rongga mulut. karena sistem imunnya mengalami gangguan parah, secara umum, pasien AIDS memiliki prognosis periodontal yang buruk, meskipun pasien HIV+ yang berhasil dirawat dengan obat-obatan anti-retroviral dan inhibitor proteinase mungkin saja memiliki prognosis jangka panjang yang baik.

4. Kelainan neutrofil
Periodontitis parah dapat disebabkan oleh kondisi sistemik langka, seperti Chediak-Higashi atau Papillon-Lefevre syndrome; defisiensi adhesi leukosit dan kondisi lainnya, seperti defek neutrofil dapatan/acquired. Penyakit sistemik apapun yang dapat mengurangi jumlah neutrofil atau mengganggu fungsi neutrofil akan meningkatkan resiko kerusakan periodontal.


5. Osteoporosis
Terdapat banyak bukti tentang hubungan antara osteoporosis dengan periodontitis, terutama pada wanita.

6. Stress
Banyak ahli periodontal yang beranggapan bahwa stres dapat memberikan pengaruh negatif terhadap prognosis periodontal. Meta-analisis literatur terbaru menunjukkan bahwa stres psikologis dapat memperparah penyakit periodontal, sehingga memperburuk prognosis keseluruhan.

II.5 Tingkat Kooperatif Lansia dalam Menerima Perawatan Gigi dan Mulut
Sikap pasien lanjut usia terhadap perawatan akan mempengaruhi kesuksesan atau kegagalan perawatan periodontal. Freedman menjelaskan berbagai jenis tingkah laku pasien sebagai berikut:7
(1) sangat bergantung: banyak permintaan, mendesak, dan berulang – ulang;
(2) pseudo-kooperatif: datang tepat waktu, membayar pelayanan, ramah dan mengikuti instruksi, namun entah bagaimana tidak pernah melakukannya diluar klinik;
(3) perfeksionis: membuat permintaan yang tidak realistis dengan ancaman terselubung, menjelaskan gejalanya, menyesuaikan gigitiruannya sendiri, membuat anjuran mengenai diagnosisnya atau rencana perawatan, dan mencoba makan dengan gigitiruannya dimana ia tidak dapat makan dengan gigi geligi aslinya.

II.6 Keadaan Pasien Lansia yang Menjalani Rawat Inap
a. Psikologis
Kebanyakan pasien lanjut usia menjadi mudah frustasi, terutama dalam lingkungan dental yang mencemaskan. Disisi lain, kebanyakan pasien lanjut usia dapat merespon dengan baik terhadap perawatan dan dapat mentoleransi prosedur yang panjang. Para dokter gigi harus mengetahui dalam merawat individu yang memiliki pengalaman unik, harapan dan kebutuhan tertentu. Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga dalam masalah kesehatan yang dibahas pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri.7
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.7
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai berikut :8
1. Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
2. Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya.
3. Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
4. Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
5. Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.

Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :8
• Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia
• Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya.
• Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
• Pasangan hidup telah meninggal.
• Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb.

b. Fisiologis
Proses umum penuaan tidak dapat diterangkan dengan jelas. Hal ini sering dijabarkan sebagai gabungan dari fenomena fisiologis normal dan degenerasi patologis. Penuaan dapat didefinisikan sebagai suatu hal biologis dimana proses tersebut merupakan hal yang genetik, suatu terminasi yang tak terelakkan dari pertumbuhan normal. Segi patologis dari penuaan termasuk proses destruksi, yang kemungkinan berkaitan dengan reaksi autoimun, atau akumulasi dari pengaruh trauma-trauma minor yang terjadi sepanjang hidup. Berbagai penyakit tertentu yang pernah dialami sepanjang kehidupan cenderung memperkuat besarnya perubahan degeneratif yang terjadi pada usia lanjut. Usia lanjut juga mempengaruhi kemampuan tubuh untuk melawan perubahan patologis.9
Terjadinya perubahan fisiologis yang normal pada pasien lanjut usia sepertinya sukar dijelaskan. Mungkin tidak pernah terjadi suatu perubahan fisiologis yang benar-benar murni pada usia lanjut tanpa dipengaruhi adanya penyakit sama sekali. Meskipun demikian beberapa kecenderungan perubahan sesuai dengan pertambahan usia dapat diprediksi. Regresi pada fungsi tubuh secara umum mulai terjadi pada usia 25 hingga 30 tahun dan berlanjut terus sampai akhir hayat. Penurunan metabolisme selular menyebabkan berkurangnya kemampuan sel untuk bertumbuh dan reparasi. Laju pembelahan sel (mitosis) menurun sehingga pada usia 65 tahun deplesi selular mendekati 30%. Karena semua jaringan, organ dan sistem tidak bergeser dengan kecepatan yang sama, struktur komposit tubuh dan fungsinya juga berbeda pada pasien usia lanjut dibandingkan dengan pasien muda. Temuan sistemik dan temuan pada rongga mulut hendaknya diinterpretasikan dalam kaitan dengan bagaimanakah seharusnya hal itu didapati pada pasien sehat yang berusia sama.9
Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi ketika memasuki usia lanjut adalah :10
• Perubahan pada Panca Indera Terutama Rasa
Sekresi saliva berkurang mengakibatkan pengeringan rongga mulut. Papil-papil pada permukaan lidah mengalami atrofi sehingga terjadi penurunan sensitivitas terhadap rasa terutama rasa manis dan asin. Keadaan ini akan mempengaruhi nafsu makan, dan dengan demikian asupan gizi juga akan terpengaruh dan dimulai pada usia 70 tahun. Perubahan indera penciuman, penglihatan dan pendengaran juga mengalami penurunan fungsi seiring dengan bertambahnya usia.

• Esofagus
Lapisan otot polos esofagus dan sfingter gastro esofageal mulai melemah yang akan menyebabkan gangguan kontraksi dan refluk gastrointestinal spontan sehingga terjadi kesulitan menelan dan makan menjadi tidak nyaman.
• Lambung
Pengosongan lambung lebih lambat, sehingga orang akan makan lebih sedikit karena lambung terasa penuh, terjadilah anoreksia. Penyerapan zat gizi berkurang dan produksi asam lambung menjadi lebih sedikit untuk mencerna makanan. Diatas umur 60 tahun, sekresi HCl dan pepsin berkurang, akibatnya absorpsi protein, vitamin dan zat besi menjadi berkurang. Terjadi overgrowth bakteri sehingga terjadi penurunan faktor intrinsik yang juga membatasi absorbsi vitamin B12, Penurunan sekresi asam lambung dan enzim pankreas, fungsi asam empedu menurun menghambat pencernaan lemak dan protein, terjadi juga malabsorbsi lemak dan diare.
• Tulang
Kepadatan tulang akan menurun, dengan bertambahnya usia. Kehilangan massa tulang terjadi secara perlahan pada pria dan wanita dimulai pada usia 35 tahun yaitu usia dimana massa tulang puncak tercapai. Dampaknya tulang akan mudah rapuh (keropos) dan patah, mengalami cedera, trauma yang kecil saja dapat menyebabkan fraktur.
• Otot
Penurunan berat badan sebagai akibat hilangnya jaringan otot dan jaringan lemak tubuh. Presentasi lemak tubuh bertambah pada usia 40 tahun dan berkurang setelah usia 70 tahun. Penurunan Lean Body Mass (otot, organ tubuh, tulang) dan metabolisme dalam sel-sel otot berkurang sesuai dengan usia. Penurunan kekuatan otot mengakibatkan orang sering merasa letih dan merasa lemah, daya tahan tubuh menurun karena terjadi atrofi. Berkurangnya protein tubuh akan menambah lemak tubuh. Perubahan metabolisme lemak ditandai dengan naiknya kadar kolesterol total dan trigliserida.
• Ginjal
Fungsi ginjal menurun sekitar 55% antara usia 35 – 80 tahun. Banyak fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi, dan reabsorbsi oleh ginjal. Reaksi asam basa terhadap perubahan metabolisme melambat. Pembuangan sisa-sisa metabolisme protein dan elektrolit yang harus dilakukan ginjal menjadi beban tersendiri.
• Jantung dan Pembuluh darah
Perubahan yang terkait dengan ketuaan sulit dibedakan dengan perubahan yang diakibatkan oleh penyakit. Pada lansia jumlah jaringan ikat pada jantung (baik katup maupun ventrikel) meningkat sehingga efisien fungsi pompa jantung berkurang. Pembuluh darah besar terutama aorta menebal dan menjadi fibrosis. Pengerasan ini, selain mengurangi aliran darah dan meningkatkan kerja ventrikel kiri,juga mengakibatkan ketidakefisienan baroreseptor (tertanam pada dinding aorta, arteri pulmonalis, sinus karotikus). Kemampuan tubuh untuk mengatur tekanan darah berkurang.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada Jantung :11
• Pada miokardium terjadi brown atrophy disertai akumulasi lipofusin (aging pigment) pada serat-serat miokardium.
• Terdapat fibrosis dan kalsifikasi dari jaringan fibrosa yang menjadi rangka dari jantung. Selain itu pada katup juga terjadi kalsifikasi dan perubahan sirkumferens menjadi lebih besar sehingga katup menebal. Bising jantung (murmur) yang disebabkan dari kekakuan katup sering ditemukan pada lansia.
• Terdapat penurunan daya kerja dari nodus sino-atrial yang merupakan pengatur irama jantung. Sel-sel dari nodus SA juga akan berkurang sebanyak 50%-75% sejak manusia berusia 50 tahun. Jumlah sel dari nodus AV tidak berkurang, tapi akan terjadi fibrosis. Sedangkan pada berkas His juga akan ditemukan kehilangan pada tingkat selular. Perubahan ini akan mengakibatkan penurunan denyut jantung.
• Terjadi penebalan dari dinding jantung, terutama pada ventrikel kiri. Ini menyebabkan jumlah darah yang dapat ditampung menjadi lebih sedikit walaupun terdapat pembesaran jantung secara keseluruhan. Pengisian darah ke jantung juga melambat.
• Terjadi iskemia subendokardial dan fibrosis jaringan interstisial. Hal ini disebabkan karena menurunnya perfusi jaringan akibat tekanan diastolic menurun.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada Pembuluh darah :11
• Hilangnya elastisitas dari aorta dan arteri-arteri besar lainnya. Ini menyebabkan meningkatnya resistensi ketika ventrikel kiri memompa sehingga tekanan sistolik dan afterload meningkat. Keadaan ini akan berakhir dengan yang disebut “Isolated aortic incompetence”. Selain itu akan terjadi juga penurunan dalam tekanan diastolik.
• Menurunnya respons jantung terhadap stimulasi reseptor ß-adrenergik. Selain itu reaksi terhadap perubahan-perubahan baroreseptor dan kemoreseptor juga menurun. Perubahan respons terhadap baroreseptor dapat menjelaskan terjadinya Hipotensi Ortostatik pada lansia.
• Dinding kapiler menebal sehingga pertukaran nutrisi dan pembuangan melambat.


Perubahan-perubahan yang terjadi pada darah :11
• Terdapat penurunan dari Total Body Water sehingga volume darah pun menurun.
• Jumlah Sel Darah Merah (Hemoglobin dan Hematokrit) menurun. Juga terjadi penurunan jumlah Leukosit yang sangat penting untuk menjaga imunitas tubuh. Hal ini menyebabkan resistensi tubuh terhadap infeksi menurun.
• Paru-paru
Elastisitas jaringan paru dan dinding dada berkurang,kekuatan kontraksi otot pernapasan menurun sehingga konsumsi oksigen akan menurun pada lansia. Perubahan ini berujung pada penurunan fungsi paru.10
• Kelenjar endokrin
Terjadi perubahan dalam kecepatan dan jumlah sekresi,respon terhadap stimulasi serta struktur kelenjar endokrin. Pada usia diatas 60 tahun terjadi penurunan sekresi testosteron, estrogen, dan progesteron.10
• Fungsi imunologik
Penurunan fungsi imunologik sesuai dengan umur yang berakibat tingginya kemungkinan terjadinya infeksi dan keganasan. Ada kemungkinan jika terjadi peningkatan pemasukan vitamin dan mineral termasuk zinc, dapat meniadakan reaksi ini.10
Secara umum kondisi fisiologis pasien lanjut usia akan ditemui kemunduran pertumbuhan tulang dan tulang rahang. Resorbsi terjadi merata pada rahang atas dan rahang bawah. Kemampuan menjaga kebersihan rongga mulut menurun dan terjadi osteoporosis.9
• Perubahan sistemik dan degradasi yang terjadi pada pasien lanjut usia
Sistem syaraf pusat terutama sangat peka terhadap ketuaan karena sel-sel otak tidak direproduksi. Meskipun sitoplasma sel-sel individu memang terlibat dalam proses destruksi parsialis dan replacement, sel-sel yang dihasilkan sewaktu kelahiran harus tetap dipertahankan seumur hidup. Karena sel-sel syaraf juga relatif sangat peka terhadap cukupnya suplai oksigen, fungsinya sangat berkaitan dengan kondisi sirkulasi darah. Diperkirakan bahwa 20% neuron tubuh hilang pada usia 70 tahun. Kecepatan transmisi rangsang sepanjang serat syaraf juga menurun sebesar 15 s.d. 20%. Aktivitas random neuron menurun sesuai dengan pertambahan usia sehingga mempengaruhi proses sensor perasa dan kontrol otot-otot.9
Perubahan pada sel-sel sistem syaraf pusat merupakan faktor yang melatarbelakangi terjadinya penurunan sensor taktik dan sensitivitas persepsi serta peningkatan ambang sakit. Pembelajaran menjadi lebih sukar, terutama apabila pola baru yang dikemukakan bertolak belakang dengan kebiasaan atau pola lama yang dia anut. Analisis situasional menjadi lebih lambat dan sulit memberi respons secara cepat. Perubahan pada otot-otot terjadi baik disebabkan oleh sel-sel otot dan juga karena perubahan pada sistem syaraf pusat. Terjadi pergantian serat-serat kontraktil otot-otot oleh jaringan ikat kolagen. Akibatnya terjadi kemunduran kekuatan, stamina, kelenturan dan tonus otot. Perubahan pada kontrol syaraf dan proprioseptif menyebabkan kekenyalan otot, kaku dan tidak begitu terkendali. Puncak kemampuan pengendalian rentang otot-otot terjadi pada usia 20 – 30 tahun dan pada usia 60 tahun kurang lebih sama dengan pada anak usia 6 tahun. Selama masa tersebut kekuatan otot berkurang sebesar 20%.9
• Pengaruh nutrisi9
Nutrisi mempunyai pengaruh utama pada proses penuaan. Ini mempengaruhi environment serta fungsi normal sel-sel. Meskipun peranan diet dan nutrisi dalam mempertahankan sistem pengunyahan belum diketahui secara mendalam, pengalaman klinis menunjukkan bahwa jaringan rongga mulut pasien lanjut usia sering bereaksi terhadap suplemen nutrisi dan diet terselubung (diet yang tidak diprogramkan).
Masalah mengenai nutrisi sering berkaitan dengan faktor fisik dan sosial. Pada umumnya, makanan nutrisi harganya mahal. Karena itu, orang yang tinggal sendirian dan terikat pada penghasilan tetap, cenderung menghindari makanan tinggi protein. Juga terlihat bahwa Manula memiliki kecenderungan mengkonsumsi lebih banyak karbohidrat dan tepung dan hanya sedikit protein.
Penurunan sensasi pengecap dan pembau sering dikaitkan dengan kehilangan selera. Pada kebanyakan Manula kesukaran yang dihadapi dalam mendapatkan makanan yang bergizi serta merta menutupi minat dan motivasi mereka. Selain itu, perubahan pada usus besar menurunkan kemampuan pencernaan dan absorbsi makanan yang dikonsumsi.
Kekurangan protein adalah salah satu dari kelainan nutrisi yang paling sering dijumpai pada Manula. Jumlah protein yang mencukupi perlu untuk mempertahankan dan memperbaiki jaringan lunak dan jaringan keras. Nitrogen dan asam amino yang diperoleh dari protein sangat diperlukan untuk sintesis hormon, enzim, plasma protein dan hemoglobin. Pada rongga mulut, kekurangan protein sering dikaitkan dengan degenerasi jaringan ikat gingiva, membran periodontal dan mukosa pendukung basis gigi tiruan. Kekurangan protein sering juga dikaitkan dengan percepatan kemunduran tulang alveolus dan lingir.


III.1 Penyakit Periodontal pada Lansia yang Menjalani Rawat Inap
Pasien lansia beresiko mengalami penyakit periodontal yang dapat disebabkan oleh akumulasi plak, penggunaan obat-obatan serta penyakit sistemik yang diderita selama menjalani rawat inap di rumah sakit, yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Akumulasi Plak
Penyebab utama gingivitis dan periodontitis sebagian besar adalah bakteri. Plak mengorganisir massa bakteri, melekat pada permukaan gigi di atas dan di bawah gingival margin dan memulai penyakit. Bakteri khusus yang potensial patogen dalam plak berbeda – beda pada setiap individu dan pada satu tempat di gingival dalam mulut yang sama. Sebagian kecil plak dapat dikontrol atau ditahan tanpa menyebabkan penyakit periodontal dengan menghasilkan mekanisme pertahanan host. Penyakit periodontal yang dapat ditimbulkan akibat akumulasi plak, antara lain : 12
• Gingivitis
Sebagai penyakit periodontal yang paling umum, gingivitis merupakan peradangan pada gingival atau gusi. Keadaan ini terjadi saat bakteri yang normal ditemukan dalam rongga mulut berproliferasi, meningkat massa dan ketebalannya hingga membentuk plak. Plak melekat pada permukaan gigi serta gingival di dekatnya. Tidak ada kehilangan perlekatan yang terjadi akibat kondisi ini. Tanda klinisnya adalah kemerahan pada gingival margin, tingkat pembesaran yang bervariasi, perdarahan pada probing ringan, dan perubahan bentuk fisiologik gingival. Rasa nyeri bukanlah tanda umum pada gingivitis.
Gingivitis adalah jenis penyakit inflamasi akut dan kronik yang mana prosesnya terbatas pada gingival tanpa ada hubungan dengan hilangnya tulang alveolar. Sebenarnya secara umum gingivitis merupakan lesi yang reversible. Plak supragingiva adalah faktor utama penyebab penyakit tersebut.
Fakta – fakta bahwa plak sebagai penyebab gingivitis diperlihatkan dari hasil observasi bahwa plak dapat berakumulasi seputar daerah yang sehat pada awalnya yang kemudian secara pasti menampakkan gejala gingivitis. Sebaliknya, lesi gingival secara perlahan – lahan dapat berkurang jika plak dibersihkan dengan beberapa metode mekanik atau kemoterapeutik.
Efek awal dari gingivitis dihasilkan dari peningkatan masa bakteri gram positif. Pada tahap ini gingivitis marginalis kronis muncul dengan karakteristik seperti kemerahan, bengkak, perdarahan, perubahan Veillonella dan Spirochetes dapat ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit.

• Hyperplasia Gingiva
Hiperplasia gingival merupakan pertumbuhan yang berlebihan yang disebabkan oleh peningkatan pada elemen jaringan fibrous pada gingival; hyperplasia fibrous. Ini bukan kondisi inflamasi, meskipun harus disadari kalau hyperplasia dan inflamasi dari gingival lebih banyak terjadi bersamaan. Keduanya sama-sama mengakibatkan pelebaran gingival. Hanya masing-masing kontribusinya pada pelebaran gingival saling bervariasi.
Hiperplasia gingival telah diketahui sebagai efek dari lebih 20 macam obat, termasuk phenytoin, cyclosporine, nifedipine dan calcium channel blokers lainnya. Untuk phenytoin 10-25%.
Ada sejumlah dosis yang dapat diberikan tergantung pada respon antara hyperplasia gingival dan konsentrasi serum dari phenytoin dan cyclosporine. Demikian pula puncak konsentrasi yang tinggi dari nifedipine dihubungkan dengan hyperplasia. Nifedipine diketahui dapat meningkatkan konsentrasi aliran cairan krevikuler ginggiva pada pasien hyperplasia pada tingkat 15-90 kali dan semuanya ditemukan dalam serum. Plak gigi banyak mengandung cyclosporine, dan plak dengan tingkat tinggi memegang peranan dalam permulaan hyperplasia.
Hubungan antara plak microbial dengan obat-obatan yang menyebabkan pembesaran tidak jelas. Walaupun demikian hal ini dapat diterima secara umum plak supragingival dihasilkan dari tingkat kebersihan mulut yang rendah dan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan. Penampakan hyperplasia ini membuat plak sulit untuk dikontrol. Hiperplasia gingival meningkat pada area supragingiva, menghasilkan inflamasi sekunder yang mempersulit perawatan hyperplasia. Perubahan inflamasi sekunder meningkatkan ukuran lesi yang disebabkan oleh pengobatan, menghasilkan diskolorisasi berwarna merah kebiruan, dengan kecenderungan meningkatnya perdarahan. Hal ini secara klinis cukup penting untuk membedakan antara hyperplasia gingival dengan pengobatan dan dengan inflamasi gingival sekunder.

• Periodontitis
Periodontitis merupakan peradangan periodonsium yang ditandai dengan migrasi jungsional epithelium kearah apical, disertai dengan kehilangan perlekatan dan tulang alveolar crestal yang diakibatkannya. Tanda klinisnya meliputi penambahan ke dalam pada probing, perdarahan saat probing (pada status penyakit akut), dan perubahan contour fisiologi. Kemerahan dan pembengkakan gingival dapat pula terjadi. Rasa nyeri bukanlah tanda klinis yang umum.
Poket merupakan sulkus gingival yang mengalami pendalaman patologis akibat penyakit periodontal. Struktur ini dibatasi oleh gigi pada satu sisi, epithelium berulser pada sisi lainnya, dan dasarnya berupa jungsional epithelium. Poket supraboni dan infraboni disebabkan oleh infeksi plak, tetapi da perbedaan opini mengenai faktor yang mempengaruhi pembentukan poket infraboni.
Perubahan dari kondisi sehat sampai kondisi dimana dinyatakan menderita gingivitis dan kemudian periodontitis tidak nyata dan tidak mudah mudah dikenali. Periodontitis ditandai dengan hilangnya jaringan ikat penghubungan yang disertai dengan periode eksaserbasi dan proses penyembuhan, bahkan kembali seperti semula secara spontan dari proses penyakit, memperlihatkan karakter yang dinamis dari destruksi penyakit periodontal. Sebagai dampak dari gingivitis, gingival tampak mengkilat dan bengkak, ditemukan pseudopocket yang memicu terbentuknya akumulasi plak, dengan tanda-tanda tersebut dapat menyebar yang tadinya adalah plak supragingival kemudian menjadi plak subgingival.
Meskipun telah diketahui bahwa plak subgingiva dengan komposisi microbial memegang peranan yang cukup besar pada penyakit periodontal, Kontral plak supragingiva untuk mencegah dan mengurangi gingivitis masih merupakan tindakan utama pencegahan dan kambuhnya periodontitis.
Penelitian terbaru memperlihatkan kontrol plak supragingival pada periodontitis yang tidak dirawat secara nyata menurunkan proporsi flora subgingival terdiri dari spesies periodontopatogen seperti A.actinomycetemcomitans, P.gingivalis, Spirochetes dan motile rods. Laporan lainnya yang diperlihatkan pada penderita periodontitis, menurunkan inflamasi gingiva diiringi dengan ditingkatkannya kontrol plak supragingival tanpa debridement subgingival secara mekanis. Sedangkan pada sisi lain, penelitian lainnya menyatakan bahwa kontrol plak supragingival mempunyai efek yang minimal pada mikroflora subgingival yang berada dalam poket periodontal yang dalam.

b. Konsumsi Obat-Obatan
Hampir sebagian besar lansia menderita penyakit sistemik. Hal tersebut akan sangat berdampak pada kesehatan rongga mulutnya akibat obat-obatan yang dikonsumsinya. Efek obat tertentu pada periodontium kelihatannya meningkat pada populasi lansia. Epanutin (antikonvulsan), siklosporin (imunosupresan) dan nifedipine (penyekat saluran kalsium) dapat merangsang pertumbuhan berlebih dari gingiva pada individu yang peka. Program pemanggilan ulang setiap tiga bulan sebaiknya dipertimbangkan pada kasus seperti ini karena kecepatan pertumbuhan berlebihan mungkin berhubungan dengan derajat peradangan gingiva. Beberapa obat antihipertensi, contohnya metildopa, dapat menyebabkan reaksi lichenoid pada jaringan gingiva.


Gambar 3. Respon Gingiva terhadap Pengobatan (a) Pertumbuhan berlebih dari gingiva pada pria berusia 60 tahun yang menerima nifrdipine; (b) setelah gingivektomi gigi 3 4 ; (c) tiga bulan seteiah penatalaksanaan non-bedah dan penghentian nifedipine. (Lihat Gambar Berwarna him. G-6).

Pasien yang menerima obat antikoagulan membutuhkan penyesuaian dosis sebelum dilakukan perawatan gigi, meskipun skeling dan perawatan akar biasanya dapat dilakukan dengan dosis terapetik, yang menurut INR tidak lebih dari 2,5.
Imunosupresan tampaknya memberi sedikit efek pada perkembangan radang kronis dan penyakit periodontal. Bagaimanapun juga, ulserasi mulut dan penyembuhan yang lambat dapat terjadi pada gingiva.


Gambar 4. Periodontitis ulseratif retraktori yang kronis pada wanita lansia yang minum steroid sistemik untuk perawatan artritis rematoid.

c. Pengaruh Penyakit Sistemik
Walaupun selama ini diakui adanya potensi kondisi sistemik dalam perkembangan periodontitis karena plak, semakin banyak bukti baru yang menunjukkan bahwa periodontitis yang parah dan menyeluruh juga dapat berperan dalam perkembangan penyakit sistemik tertentu atau berpengaruh buruk terhadap pengendalian penyakit sistemik tersebut. Terdapat hubungan antara infeksi sistemik akut dengan penyakit kardiovaskular, contohnya infark miokard dan stroke. Ini membuktikan bahwa akumulasi bakteri gram negatif dalam jumlah besar ikut berperan dalam terjadinya aterosklerosis. Penelitian menunjukkan bahwa bakteremia gram negatif dapat menyebabkan agregasi keping darah, menimbulkan hiperkoagulasi dan meningkatkan viskositas darah. Semua ini merupakan gambaran penting dari pembentukan atheroma.11
Periodontitis parah juga dikaitkan dengan infeksi saluran napas atas dan bawah seperti hospital-acquired pneumonia atau pneumonia yang didapat sewaktu dirawat di rumah sakit.11

III.2 Penanganan Penyakit Periodontal Pada Lansia
Keberhasilan perawatan penyakit periodontal pada pasien lanjut usia dapat tercapai. Namun, dokter gigi harus mengenal kategori pasien lanjut usia yang harus dirawat dengan memeriksa kondisi fisik dan psikologis serta emosional pasien tersebut. Hal ini penting untuk menentukan prognosis dan rencana perawatan yang akan diberikan terhadap kebutuhan dan keinginan pasien. Pada pasien lanjut usia, perawatan non bedah umumnya merupakan pilihan utama. Namun, sesuai dengan penyakit periodontal yang meluas maka perawatan bedah pun dapat dilakukan.1,4

III.2.1 Kontrol Plak
Kontrol plak adalah pembersihan dan pencegahan akumulasi plak dental pada gigi dan permukaan gingival disekitarnya secara regular. Kontrol plak merupakan komponen penting pada praktik dental, memungkinkan perawatan periodontal dan dental berhasil dalam jangka panjang.
Perawatan oral merupakan suatu keharusan untuk mencegah terbentunya plak. Teknik perawtan oral harus tepat dan efektif. Pencegahan meliputi oral hygiene yang baik dan rutin. Pemeliharaan oral hygiene yang baik dan berkelanjutan, follow up oleh dokter gigi adalah esensial untuk mencegah penyakit periodontal menjadi lebih parah atau rekuren.
Kontrol plak mekanikal dengan sikat gigi ataupun alat bantu lainnya merupakan cara yang diandalkan dalam mencapai kesehatan oral yang baik bagi pasien. Kontrol plak kimia merupakan hal yang bermakna bagi pasien dan dokter gigi dengan menggunakan obat kumur atau medikamen yang bisa menghambat pembentukan plak. Prosedur kontrol plak dapat dilakukan dengan cara:
1. Penyikatan gigi
2. Alat pembersih interdental
3. Massage gingival
4. Alat irigasi oral
5. Kontral plak secara kimia
6. Bahan disclosing.
Kebutuhan dan tuntutan akan instruksi yang baik, demonstrasi, dan motivasi adalah sama baik pada lansia maupun pasien muda usia, dan merupakan tugas untuk setiap dokter gigi. Rekomendasi berikut akan dapat meningkatkan komunikasi dengan pasien lansia.
- Buat pesan-pesan tentang pengontrolan plak secara kronologis, langkah demi langkah, contohnya, tahapan penyikatan gigi rutin.
- Jangan memberi informasi terlalu banyak sekaligus. Tidak satupun pasien, apalagi pasien lansia, dapat diharapkan bisa menyerap instruksi mengenai disclosing, penyikatan gigi, flossing, dan lainnya, dalam satu kali pertemuan.
- Luangkan waktu untuk memberi penerangan dan penjelasan mengenai masalah yang ada. Gunakan gaya bicara yang lambat dan jelas, serta hindari berteriak dan terburu-buru, yang dapat membuat pasien tersinggung. Selama pemberian instruksi, duduk berhadapan dengan pasien, duduk didekatnya dan mengecilkan bunyi-bunyi lain diruangan akan sangat dihargai oleh pasien yang pendengarannya kurang baik.
- Dengarkan, dan doronglah pasien memberi umpan balik jika perlu, secara langsung. Dengarkan pernyataan pasien baik yang diungkapkan secara terbuka atau diam-diam mengenai kebutuhannya dalam kaitannya dengan penampilan, fungsi, transport, dan dukungan di rumah. Hubungan yang baik lebih besar kemungkinannya mendatangkan imbalan berupa sikap menurut dan kesediaan pasien untuk datang kembali.
- Gunakan berbagai cara komunikasi untuk mendukung pesan yang ingin disampaikan jika perlu, biarkan pasien melihat dan merasakan adanya plak, kalkulus, dan peradangan. Metode ‘ceritakan, perlihatkan, dan rasakan’ mengenai penyikatan gigi yang akurat dapat didukung dengan saran tertulis. Pesan tertulis harus sederhana, ringkas, dan ditulis dengan huruf yang besar, tebal, dan warna yang kontras.



Gambar 5. Pemfigoid jinak (a) pemfigoid jinak pada membrane mukosa seorang wanita berusia 72 tahun. Pemfigoid ini membuat pasien tidak mengenakan gigitiruan sebagian atas dengan nyaman. (b) setelah mengikuti instruksi kebersihan mulut dan skeling-perhatikan keratinisasi yang membaik. (c) jembatan cekat yang kemudian dibuat untuk menghindari trauma gigitiruan lebih lanjut.


Gambar 6. Pengaruh Kontrol Plak terhadap Gingiva (a) pasien wanita berusia delapan puluhan, dengan coping overdenture dan kebersihan mulut yang memuaskan; (b) penurunan plak control secara mendadak menyebabkan terjadinya peradangan superficial pada gingiva (c) menghilang setelah dilakukan prosedur pengontrolan plak sederhana.

- Tentukan tujuan yang realistis. Menyikat gigi di interproximal dan krevikular perlu dan dapat dilakukan oleh pasien dari segala usia asal mereka memiliki keterampilan manual. Untuk mereka yang kurang terampil, teknik penyikatan sederhana ditambah kumur-kumur satu atau dua kali sehari dengan klorheksidin glukonat 0,2% lebih sesuai. Untuk pasien yang lemah, perlu keterlibatan keluarga atau perawat dalam melakukan penyikatan sederhana dan teratur yang diperkuat dengan pembersihan mulut secara professional setiap 3-6 bulan.
- Pegangan sikat gigi yang telah dimodifikasi untuk memperoleh pegangan yang nyaman dapat dibeli atau dibuat. Sekarang ini sudah banyak variasi pegangan sikat interproksimal yang dipasarkan. Sikat ini penting untuk membersihkan ruang interdental yang lebar dan furkasi yang terbuka, yang biasanya terdapat pada gigi lansia. Sikat dengan pegangan contra-angle dan bulu tunggal sangat bermanfaat untuk menjangkau gigi posterior yang berdiri sendiri dan gigi dengan mahkota klinis yang panajang. Sikat gigi berkepala dua yang dirancang untuk membersihkan dua permukaan gigi bersamaan, dapat digunakan untuk pasien lansia yang cacat fisik. Sikat gigi otomatis, khususnya tipe baterai yang dapat diisi ulang dan memiliki kepala yang bergerak elips, memberikan keuntungan yaitu tidak terlalu capai dan tidak sakit untuk pasien lansia. Pada keadaaan dimana gerakan jari dan pergelangan tangan atau lengan terbatas, irrigator air bertenaga jet dapat digunakan satu kali sehari untuk mengantarkan 400 ml larutan chlorheksidin glukonat 0,02%. Pegangan floss juga mengurangi gerakan jari pada manipulasi yang rumit. Program pengontrolan plak dan skeling seringkali menjadi satu-satunya program yang dibutuhkan pada kasus periodontitis kronis tahap awal dan menengah.


Gambar 7. pegangan sikat gigi yang telah dimodifikasi. Padding sederhana, akrilik, grip pegangan sepeda, dll, dapat digunakan untuk mempertebal tangkai sikat dan mempernyaman pegangan



Gambar 8. Sikat gigi dengan bulu tunggal atau antar gigi.

III.2.2 Perawatan Non-Surgical
Perawatan terapi non-bedah yang dapat dilakukan pada lansia, antara lain sebagai berikut :6,13,14
• Scalling dan Root Planing
Scalling dan root planning merupakan bentuk perawatan penyakit periodontal yang konservatif dan paling sering dilakukan. Perawatan untuk setiap tahapan penyakit periodontal mencakup pembersihan plak dan kalkulus yang melekat pada gigi secara keseluruhan. Ketika kerusakan penyakit gingival hanya sedikit, maka dapat ditangani tanpa anestesi local melalui proses scalling. Ketika kerusakan penyakit periodontal lebih berat, mempengaruhi lebih banyak struktur di atas tulang, dilakukan proses root planning. Root planning selalu membutuhkan anestesi local. Akar gigi pada dasarnya sensitive sehingga dibutuhkan anastesi local saat bekerja pada area ini. Scalling dan root planning dapat mengontrol pertumbuhan bakteri yang destruktif.
a. Definisi dan Rasional
Scalling adalah proses dimana plak dan kalkulus supragingival dan subgingival dihilangkan dari permukaan gigi. Root planning adalah proses dimana sisa kalkulus yang melekat dan komponen sementum dihilangkan dari akar untuk menghasilkan permukaan yang halus, keras, dan bersih.
Permukaan akar gigi yang halus memungkinkan penyembuhan jaringan gingival dan jaringan pendukung dapat melekat kembali dengan lebih baik pada permukaan gigi. Hal ini juga membuat plak lebih sulit terakumulasi disepanjang akar gigi.
Tujuan utama skelling dan root planning adalah untuk mengembalikan kesehatan gingival melalui pembersihan elemen yang menimbulkan inflamasi gingival secara sempurna (yaitu plak, kalkulus dan endotoksin) dari permukaan gigi.
Scalling dan root planning merupakan bagian penting dari semua prosedur terapi penyakit periodontal yang digunakan dengan maksud untuk:
1. Menghilangkan faktor resiko etiologi penyakit periodontal.
2. Mengurangi dan menipiskan poket periodontal.
3. Mengurangi peradangan sebelum prosedur bedah periodontal.
4. Mengurangi lesi akut.
Scalling, root planning dan debridement subgingival telah terbukti sebagai modal perawatan yang efektif dalam manajemen penyakit periodontal. Instrument subgingival menghasilkan pengurangan yang signifikan dari organisme anaerobik gram-negatif dan mendorong repopulasi gram-positif kokus dan batang yang berhubungan dengan kesehatan. Level dari sphirochetes, mikroba motil, dan patogen periodontal spesifik seperti Porphyromonas gingivaalis, Provotella intermedia, Actinobasillus actinomycetemcontamitans, begitupun spesies bakteroides, secara signifikan berkurang setelah scalling dan root planning. Perubahan mikroflora setelah skalling dan root planning disertai oleh perubahan pada pengukuran klinis kesehatan periodontal secara bersamaan. Penurunana bleeding on probing yang mendekati 45% pada area dengan kedalaman probing awal 4,0 sampai 6,5mm adalah bukti bahwa inflamasi berkurang. Perubahan kedalaman probing dan level attachment setelah scalling dan root planning bergantung pada pengukuran insisal dan biasanya menggambarkan kombinasi dari pencapaian clinical attachment dan resolusi edema atau penyusutan (resesi).
Scalling dan root planning merupakan prosedur yang tidak terpisah. Semua prinsip scalling sama dengan root planning. Perbedaannya hanya pada masalah derajat.

b. Tantangan dan keterbatasan
Scalling dan root planning merupakan tuntunan prosedur klinik yang membutuhkan waktu dan keterampilan. Pembersihan plak dan kalkulus yang sempurna dari permukaan akar adalah tidak realistis dan jarang tercapai. Pada poket dengan kedalaman probing inisial 5 mm atau lebih, klinisi menunjukkan debridement akar yang inadekuat sebanyak 65%. Penelitian yang mengevaluasi kalkulus residual setelah instrumentasi periodontal dengan atau tanpa akses surgical cenderung menggambarkan deposit residual setelah scalling dan root planning adalah furkasi dan line angles, cementoenamel junction, dan konkavitas akar. Meskipun tantangan klinisi tersebut, keseluruhan instrumentasi memberikan hal yang penting bagi keberhasilan terapi periodontal.
Walaupun hasil permukaan akar yang halus dan keras sering digunakan sebagai titik akhir selama instrumentasi periodontal, kebutuhan absolute untuk keberhasilan terapi adalah tidak jelas. Pembersihan sementum yang sempurna dalam tujuannya untuk menghilangkan endotoksin yang melekat pada permukaan akar adalah tidak perlu dan dapat menyebabkan hipersensitivitas.
Scaling subgingival dan root planning dapat dilakukan dengan closed procedure dan open procedure dan sering dibawah anestesi local. Closed prosedure merupakan instrumentasi subgingival yang tidak langsung tanpa pemindahan gingival yang disengaja. Permukaan akar tidak dapat dicapai dengan pemeriksaan visual yang langsung. Open procedure dilakukan untuk membuka permukaan akar yang terinfeksi dengan langkah memindahkan jaringan gingival. Gingival diinsisi dan diturunkan atau diresesi untuk memberikan akses dan visibilitas lapangan operasi.

c. Keterampilan Deteksi
Keterampilan deteksi visual dan taktil yang baik dibutuhkan untuk penaksiran awal yang akurat mengenai perluasan dan dasar deposit dan irregularitas akar sebelum scaling dan root planning. Pemeriksaan visual kalkulus supragingiva dan subgingiva di bawah margin gingiva tidak sulit jika didukung oleh pencahayaan yang baik dan daerah yang bersih. Deposit kalkulus subgingiva yang dibasahi oleh saliva sering sulit dilihat. Semprotan udara dapat dilakukan untuk mengeringkan area.
Eksplorasi taktil permukaan gigi pada area subgingiva dari kedalaman poket, furkasi, developmental depression lebih sulit dibandingkan dengan cara modified pen grasp secara stabil. Hal ini memberikan sensitivitas taktil yang maksimal untuk mendeteksi subgingival dan irregularitas lainnya.



d. Teknik scalling supragingival
Kalkulus supragingiva umumnya kurang melekat dan kurang terkalsifikasi dibandingkan kalkulus subgingiva. Sickle, kuret, sonic dan ultrasonic instrument sering digunakan untuk mengangkat kalkulus supragingiva. Hoe dan chisel kurang digunakan. Untuk melakukan scaling supragingiva, sickle atau kuret dipegang dengan cara pen grasp dan tumpuan jari harus kuat pada gigi yang berdekatan dengan area kerja. Blade diadaptasikan dengan sudut agak kurang dari 90o terhadap permukaan. Cutting edge diletakkan pada margin apical kalkulus supragingival dimana gerakan dalam arah vertical atau oblique. Permukaan gigi diinstrumentasikan sampai bebas dari semua deposit supragingival secara visiual dan taktil.

e. Teknik scalling subgingival dan root planning
Scalling subgingival dan root planning jauh lebih kompleks dan sulit dibandingkan dengan supragingiva. Klinisi sangat bergantung pada sensitivitas taktil untuk mendeteksi kalkulus dan irregularitas, sebagai panduan bagi instrument serta untuk mengevaluasi hasil instrument.
Disamping adanya dinding poket yang membatasi arah dan panjang gerakan gigi adanya jaringan lunak membuat adaptasi terhadap kontur gigi menjadi lebih hati-hati untuk menghindari trauma. Klinisi harus membentuk imajinasi mengenai permukaan gigi untuk mengantisipasi variasi kontur, diikuti modifikasi imaginasi dalam respon terhadap sensasi taktil dan visual. Koordinasi keterampilan visual, mental dan manual yang tepat dan kompleks membuat instrumental subgingiva menjadi salah satu keterampilan dental yang sulit.
Sickle, hoe, files dan instrument ultrasonic digunakan untuk scalling subgingiva dengan kalkulus yang banyak. Cutting edge yang sesuai diadaptasikan ke gigi dengan bagian bawah shank parallel terhadap permukaan gigi. Saat cutting edge mencapai dasar poket angulasi antara 45 – 90 derajat dilakukan dan aplikasi tekanan secara lateral terhadap permukaan gigi. Kalkulus diberishkan dengan rangkaian gerakan kalkulus yang terkontrol, berulang, pendek dan gerakan pergelangan tangan yang cukup bertenaga. Gerakan root planning dibuat lebih panjang dan lebih ringan dengan tekanan lateral yang kurang sampai permukaan akar benar- benar halus dan keras. Gerakan scaling dan root planning disesuaikan dengan ukuran gigi dimana kalkulus dan sementum yang rusak berada. Zona ini dikenal sebagai zona instrumentasi.

• Terapi antimikroba
Penyakit periodontal merupakan penyakit bacterial dan kunci untuk mengontrol atau mengeliminasi bakteri tersebut adalah pengurangan atau pengeliminasian yang efektif terhadap bakteri berbahaya. Agen kemoterapeutik digunakan untuk mengurangi, menghilangkan atau mengubah kemampuan pathogen mikroba, atau untuk mengubah respon host melalui pemberian agen yang tepat baik secara local maupun sitemik. Antibiotic diberikan bersamaan dengan perawatan periodontal untuk membantu kemampuan tubuh dalam melawan infeksi bakteri. Antibiotic biasanya diberikan pada infeksi yang akut dan parah. Keputusan untuk menggunakan antibiotic harus didasarkan pada pengetahuan mengenai kemungkinan dari bakteri yang menyebabkan timbulnya penyakit. Periodontitis biasanya menggunakan antibiotic secara individual maupun dikombinasikan dengan perawatan lain untuk membantu menghilangkan bakteri. Studi menunjukkan bahwa antibiotic setelah scalling dan root planning mengurangi kemungkinan pembedahan. Antibiotik dapat membantu jika terdapat pembengkakan yang sangat nyeri dimana pus terbentuk diantara gigi. Direkomendasikan menggunakan perawatan antibiotic local pada area tertentu di dalam mulut. Sebagai contoh periochips, elyzol, gengigel, dentomycin. Obat tersebut tidak menyembuhkan tetapi membantu mengontrol fase akut penyakit gingival.

Beberapa bentuk terapi local:
a. Gel yang mengandung doxycycline diinjeksikan ke gingival.
b. Chip yang biasanya mengandung chlorhexidine.
c. Bubuk yang mengandung minocycline disemprotkan ke gingival.

Beberapa jenis antimikroba local yang tersedia:
a. Metrolidazol, spessifitas terhadap bakteri obligat anaerob dan cukup banyak digunakan. Biasanya dalam sediaan gel.
b. Minosiklin, tersedia sebagai obat local dalam bentuk salep dan mikrosfer.
c. Doksisiklin.
d. Chlorhksidine glukonat
e. Tetrasikline

Indikasi klinis pemberian obat local:
1. Poket ≥ 5 mm
2. Perdarah saat probing
3. Daerah yang tidak respon terhadap scaling dan root planning
4. Apabila faktor estetik merupakan pertimbangan dan pembedahan merupakan kontraindikasi (contohnya daerah anterior)
5. Periodontitis refraktori
6. Medically compromised patient, pembedahan merupakan kontraindikasi
7. Diabetes tidak terkontrol

Beberapa produk antibiotic local yang digunakan saat terapi periodontal:
1. Arsetion, diinjeksikan ke dalam poket periodontal dan digunakan sebagai perawatan tambahan. Arsetion merupakan bentuk kental dari tetrasikline yang sediaan farmakologinya unik karena terdiri dari partikel mikrosfer. Formulasi ini memungkinkan pengeluaran antibiotic dengan waktu yang sangat lambat dimana meningkatkan keefektifan obat.
2. Atridox (doksisilat hiklat 10%), derivate tetrasiklin semi-sitemik yang digunakan pada perawatan antimikroba local dari poket periodontal. Diberikan di sepanjang margin gingival yang kemudian menjadi gel yang mengeras.
3. Periostat, modifikasi sitemik dan mengandung doksisiklin dengan dosis yang sangat rendah yang memiliki dosis anti kolagenase. Kolagenase adalah enzim yang menghancurkan serat attachment gingival. Berupa tablet yang diminum dalam dua kali sehari
4. Actisite, benang tipis yang mengandung hidrokoloid tetrasikline dan ditempatkan di dalam pocket.
5. Perio chip, kecil dengan 2,5 mg dan ditempatkan ke dalam poket periodontal setelah scanning dan root planning.
6. Edmogain, Enamel matriks protein dan biokompatibel yang digunakan untuk merawat poket infraboni pada tulang sekitar gigi digunakan untuk tambahan dalam bedah periodontal dan menunjukkan peningkatan level attachment gingival dan ketinggian tulang alveolar

• Irigasi Supragingiva dan subgingiva
Dalam perawatan periodontal irigasi digunakan sebagai bahan untuk membilas bakteri yang kontak dengan jaringan periodontal. Irigasi merupakan pengurangan bakteri plak non spesifik. Dua jenis irigasi yaitu supragingiva dan subgingiva.
Alat irigasi didesain untuk mengelminasi plak dan debris lunak melalui aksi mekanik jet stream water. Alat irigasi dapat digunakan dengan air atau agen antimikroba. Beberapa jenis irrigator yang ada yaitu irrigation pressure, water stream khusus, dan desain tipe jet. Syringe juga dapat digunakan untuk mengantarkan larutan irigasi ke poket.
- Irigasi supragingiva
Biasanya dilakukan satu atau dua kali sehari oleh pasien sebagai tambahan selain penyikatan gigi dan flossing. Irigasi supragingiva dengan air semata tidak cukup mencegah akumulasi plak non gingivitis. Irigasi supragingiva dengan air semata hanya memiliki efek terbatas pada skor plak. Irigasi harian dengan air setelah terapi inisial dapat meningkatkan kesehatan gingival pada pasien periodontitis. Penambahan penetrasi antimikroba ke dalam poket periodontal yang dihantarkan melalui irigasi supragingiva dianggap memiliki kontrol mikroflora subgingiva yang lebih baik dibandingkan berkumur. Dosis minimal yang efektif untuk irigasi supragingiva harian dengan khlorheksidine glukonat yaitu 400 ml dari larutan 0,02%. Pada pasien gingivitis yang menggunakan irigasi supragingiva dengan antimikroba mengalami pengurangan inflamasi gingival yang lebih baik dibanding dengan air semata atau berkumur dengan antimikroba.
- Irigasi subgingiva
Irigasi subgingiva pada poket dapat membantu penekanan mikroorganisme pathogen periodontal. Irigasi subgingiva dengan bahan antimikroba, khususnya khlorheksidine, mengurangi inflamasi gingival lebih banyak. Untuk membawa bahan irigasi berkontak dengan seluruh permukaan akar. Irigasi subgingiva harus didahului dengan scalling dan root planning. Irigasi dilakukan secara sirkumferensial. Irigasi dengan khlorheksidine glukonat 0.12% menghambat mayoritas bakteri subgingiva in vitro pada konsentrasi in vivo yang cukup dan bermanfaat sebagai tambahan scalling dan root planning.

III.2.3. Perawatan Bedah
Tujuan utama bedah periodontal adalah menciptakan keadaan mulut sedemikian rupa sehingga mudah dilakukan untuk pemeliharaan gigi pasien, kenyamanan, dan fungsinya bagi kehidupan. Alasan dilakukannya pembedahan:11
1. Memudahkan akses
Pembedahan memberikan kemudahan bagi klinisi untuk mencapai permukaan akar dan tulang alveolar. Akses ini memungkinkan dilakukannya preparasi akar yang cermat dan pembuangan seluruh deposit keras, sementum nekrotik, serta produk-produk bakteri dan jaringan dari permukaan akar. Selain itu berkurangnya kedalaman poket setelah terapi pembedahan memungkinkan pasien mendapat akses yang lebih baik ke semua permukaan gigi guna melakukan pembersihan plak yang lebih efektif.

2. Memperbaiki jaringan periodontal
Metode bedah yang didesain untuk memperbaiki jaringan lunak dan tulang yang mengalami kerusakan karena penyakit. Pembedahan tersebut terdiri atas teknik graft jaringan lunak dan jaringan keras untuk mengembalikan keadaan jaringan periodontal sebelum terjangkiti penyakit.

3. Mengurangi poket periodontal
Poket periodontal tidak selalu dapat dihilangkan dengan sempurna, tetapi dapat dikurangi melalui beberapa teknik resektif dan regeneratif. Tujuan utamanya adalah mengurangi kedalaman poket hingga mencapai keadaan yang mudah dirawat baik oleh dokter gigi maupun diri sendiri.

4. Mengubah bentuk tulang
Cacat tulang dan deformitas menciptakan kontur jaringan periodontal yang menyimpang dari kontur fisiologis, dan berperan sebagai faktor retentif plak serta tidak sesuai dengan keadaan sesuai kesehatan yang baik. Pembentukan kontur tulang yang dilakukan untuk menghilangkan cacat tulang akan mengurangi daerah-daerah retensi plak dan memudahkan pasien untuk mendapatkan akses yang lebih baik ke permukaan gigi guna melakukan pengendalian plak yang lebih efektif.

Perawatan bedah untuk menghilangkan jaringan inflamasi dapat merangsang terjadinya perbaikan atau regenerasi jaringan yang mengalami kerusakan. Regenerasi jaringan rusak dapat terjadi secara fisiologis atau dengan bantuan bahan-bahan tertentu. Perawatan periodontal untuk merangsang terjadinya regenerasi jaringan dapat dilakukan dengan cara pembersihan defek dengan kuretase saja, atau disertai bone grafting dan guided tissue regeneration yang dilakukan secara bedah.15

• Bone graft
Secara umum kesembuhan atau regenerasi fisiologis dapat terjadi karena regenerasi dari bekuan darah setelah tindakan bedah. Oleh karena itu, bekuan darah harus dilindungi agar tidak rusak.
Pada kasus yang disertai dengan banyaknya tulang alveolar yang hilang, maka dapat dilakukan bone grafting atau dengan menggunakan bahan guided tissue regeneration (GTR). Tujuan dari bone grafting adalah mengurangi kedalaman poket periodontal, peningkatan pelekatan secara klinik, pengisian tulang di daerah defek dan regenerasi dari tulang baru.


• Guide Tissue Regeneration
Pada umumnya setelah prosedur flap, apabila epithelium gingiva bergerak sepanjang jaringan ikat di sebelah yang dirawat, kesembuhan akan terjadi tanpa perlekatan yang baru terhadap akar (pelekatan semu). Prinsip guide tissue regeneration, apabila jaringan ikat gingival mempunyai kesempatan untuk mencapai permukaan akar maka pelekatan akan terjadi, karena tidak terjadi pertumbuhan epitel di permukaan akar. Penggunaan GTR diharapkan dapat menghambat pertumbuhan epitel yang mempunyai potensi pertumbuhan sangat cepat, mendahului pencapaian jaringan ikat gingiva dan sel – sel yang lain mengadakan pelekatan baru pada permukaan akar. Dengan demikian terjadinya pelekatan semua dapat dicegah.

Hal-hal yang harus dipertimbangkan sebelum dilakukan pembedahan:11
1. Persetujuan pasien
Pada saat rencana perawatan periodontal dijelaskan pada pasien. Sebaiknya pasien diberitahu bahwa pembedahan mungkin merupakan bagian dari rencana perawatan. Pasien benar-benar harus memahami keuntungan dan resiko yang mungkin terjadi atau komplikasi dari prosedur-prosedur yang dianjurkan. Alternatif pembedahan ini harus dijelaskan dengan cermat kepada pasien sehingga pasien dapat memberikan persetujuan terhadap rencana operasi. Pembahasan dan persetujuan pasien sebaiknya tertulis dan tercatat dalam rekam medik.
2. Mengetahui kontraindikasi dari bedah periodontal
Ada beberapa alasan mengapa pembedahan periodontal tidak dapat dilakukan seperti karena terdapat masalah kesehatan tertentu seperti diabetes atau tekanan darah yang tidak terkontrol. Pengendalian plak yang baik harus diinstruksikan kepada pasien agar pembedahan periodontal dapat berhasil. Pasien harus diberitahukan sejak awal perawatan bahwa pembedahan periodontal tidak akan pernah dilakukan sebelum plak betul-betul dapat dikendalikan dan sebelum pasien benar-benar memahami peran aktifnya dalam perawatan pemeliharaan jangka panjang. Dokter gigi yang merasa tidak mampu melakukan perawatan bedah atau tidak dapat menjalankan program pemeliharaan yang memuaskan bagi pasien, sebaiknya tidak melakukan perawatan bedah periodontal.

3. Pengendalian infeksi/Terapi Fase Pertama
Terapi pengendalian infeksi harus telah diselesaikan sebelum keputusan akhir untuk melakukan pembedahan. Terapi pengendalian infeksi adalah salah satu komponen yang paling penting dalam terapi periodontal.
Hal-hal yang mungkin dilakukan selama faes perawatan ini adalah:
a. Menilai komitmen pasien untuk menjalankan perawatan periodontal
b. Mempelajari potensi penyembuhan pasien
c. Menguatkan instruksi hygiene mulut
d. Memperbaiki keadaan agar tidak perlu dilakukan pembedahan
e. Meningkatkan kesehatan jaringan untuk membantu penatalaksanaan jaringan lunak pada saat pembedahan

4. Pengendalian kecemasan
Kecemasan yang dirasakan oleh pasien umumnya dapat dikendalikan dengan sikap yang tenang dan penuh perahatian dalam merawat pasien. Ahli periodontal seharusnya memiliki ketenangan dan kepercayaan diri bahwa dia mampu mengerjakan prosedur bedah dengan baik. Pada sejumlah kecil pasien, kecemasan hanya dapat dihilangkan melalui pemberian obat-obatan transquilizer atau sedasi.
5. Antibiotik
Premedikasi dengan antibiotik yang tepat harus dilakukan untuk kelima kondisi sistemik pertama dari daftar berikut ini:
a. Penyakit jantung kongenital
b. Penyakit reumatik jantung atau penyakit katup jantung dapatan lainnya
c. Stenosis sub-aorta hipertrofi idiopatik
d. Sindrom prolapsus katup mitral disertai insufisiensi mitral
e. Pasien yang memakai katup jantung buatan
f. Pasien yang memakai protesa sendi
g. Gangguan sistem imun tertentu

6. Asepsis
Pembedahan periodontal mutlak dilakukan dalam kondisi asepsis. Rongga mulut memang tidak dapat disterilkan, tetapi tindakan pencegahan sebaiknya dilakukan untuk menghindari terjadinya kontaminasi silang dan menghalangi masuknya bakteri dari lingkungan luar ke dalam mulut pasien. Operator harus memakai tutup kepala, masker, dan sarung tangan. Kain yang steril sebaiknya digunakan untuk menutupi. Kain yang steril sebaiknya digunakan untuk menutupi pakaian yang dikenakan operator. Baju pasien harus ditutupi handuk steril, demikian juga rambut dan mata pasien. Kecermatan sangat diperlukan agar tidak ada satu bagian pun yang tidak steril di daerah operasi.

7. Keadaan Darurat
Alat-alat kedaruratan harus selalu diperiksa secara berkala untuk memastikan bahwa peralatan dalam keadaan berfungsi dengan baik.


8. Anestesi
Bedah periodontal biasanya dilakukan di bawah anestesi lokal. Ahli bedah periodontal sebaiknya menggunakan dosis anestesi lokal minimal yang dibutuhkan untuk menjaga kenyamanan pasien selama prosedur pembedahan.

III.2.4 Stabilisasi Kegoyangan Gigi
Periodontal splint adalah alat yang dapat digunakan untuk stabilisasi atau immobilisasi gigi – geligi yang mengalami kegoyangan. Splint terdiri dari splint sementara, splint semi permanent dan splint permanent. Indikasi splinting sementara adalah untuk stabilisasi gigi goyang sebelum dan selama terapi periodontal dengan tujuan untuk mengurangi trauma pada waktu perawatan dan mempercepat proses penyembuhan, contohnya wire ligature splint.15
Splint semi permanent dan permanent dapat digunakan pada gigi dengan kegoyangan berat yang dapat mengganggu pengunyahan setelah terapi periodontal. Untuk gigi – gigi anterior splint semi permanent cekat, bahan yang sering digunakan adalah komposit resin (light cured). Penggunaan komposit dengan serat polyester (fiber splint) telah dibuktikan dapat membantu stabilitas splint, juga kombinasi antara kawat ligature dengan komposit. Untuk gigi – gigi posterior splinting semi permanent ditujukan untuk gigi – gigi goyang berat yang harus menerima beban kunyah.. Splint ini digunakan sebelum, selama dan sesudah terapi periodontal. Untuk gigi posterior digunakan kawat logam yang kaku dikombinasi dengan komposit atau amalgam.15
Khusus untuk splint permanent pada umumnya dikaitkan dengan protesa periodontal. Splint ini hanya dapat dibuat beberapa bulan setelah terapi periodontal dan kesembuhan sudah sempurna. Tujuan utamanya adalah untuk memperoleh fungsi kunyah yang lebih efektif. Protesa dapat berupa jembatan, protesa lepasan kerangka logam.15
Kegoyangan gigi juga merupakan salah satu tanda klinis adanya traumatic oklusi, meskipun tidak semua gigi goyang disebabkan traumatic oklusi. Pelebaran dari periodontal space, kerusakan tulang alveolar, perubahan dari furkasi dan lamina dura dalam gambaran rontgen foto sering dikaitkan dengan adanya tekanan berlebihan yang mengakibatkan goyangnya gigi. Apabila kegoyangan gigi murni disebabkan oleh karena traumatic maka perlu dilakukan penyesuaian oklusi (occlusal adjustment).15



III. 1. Simpulan
Adapun kesimpulan mengenai isi dari makalah ini, antara lain :
• Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita.
• Lanjut usia (lansia) merupakan periode akhir dari rentang kehidupan manusia. Menghadapi periode ini beberapa lansia menjalani hidupnya bersama keluarga, ada juga yang hidup sendiri karena pasangan hidup mereka sudah meninggal atau juga tidak punya sanak saudara sama sekali.
• Periodontium mempunyai 4 komponen, yaitu gingiva, tulang alveolar, ligamentum periodontal, dan sementum.
• Penyakit atau kondisi sistemik: sejumlah penyakit dan kondisi sistemik dapat mempengaruhi prognosis periodontal secara keseluruhan. Diantaranya adalah Diabetes Mellitus, ginjal, genetik, kelainan neutrofil, osteoporosis, dan stress.
• Jaringan periodontal meliputi gingiva (epitel dan jaringan ikat), ligament periodontal, tulang alveolar dan sementum. Jaringan ini secara keseluruhan dipengaruhi oleh perubahan usia.
• Pada keadaan sehat, sel apikal dari epitelium jungsional melekat pada pertautan semento-email. Tanda dari kerusakan periodontal adalah migrasi apikal dari epitelium jungsional. Meski demikian, masih ada kontroversi mengenai apakah usia turut menyebabkan migrasi apikal dan struktur ini seperti dibuktikan dengan meningkatnya kerusakan periodontal sejalan dengan usia. Jadi, sewaktu memeriksa pasien lansia dengan perlekatan yang rusak, harus dipertanyakan apakah hilangnya perlekatan akibat penyakit periodontal, atau bagian dari proses penuaan, atau keduanya.
• Pasien lansia beresiko mengalami penyakit periodontal yang dapat disebabkan oleh akumulasi plak, penggunaan obat-obatan serta penyakit sistemik yang diderita selama menjalani rawat inap di rumah sakit.
• Penanganan penyakit periodontal pada lansia yang dirawat di rumah sakit dapat berupa kontrol plak, perawatan non-bedah, bedah, serta stabilisasi kegoyangan gigi.

Sumber >>>>


DAFTAR PUSTAKA


1. Cornella Hutauruk. Perawatan Gigi Terpadu untuk Lansia (Gerodontology). Jakarta : EGC. 2006.
1. NN. Perawatan Penyakit Periodontal Pada Lanjut Usia. Available from: http://dentist-.com/2009/08/perawatan-penyakit-periodontal-pada lanjut usia. Accessed March, 28th 2010.
2. Ismayadi. Proses Menua (Aging Proses). Available from: http://www.infokes/ageingproses,ismayadi.com/today/artikelview.html?item_ID=223&topik =usialanjut.pdf. Accessed March, 29th 2010.
3. Manson JD, Eley BM. Buku ajar periodonti. EGC: Jakarta. 1993. p 1-16.
4. Penyakit Sistemik pada Lansia. Available from: http://www.perioclinix.com/Treatment/what.php. Accessed March, 28th 2010.
5. Dini Rustwiy Hapsari. Available from : http://dhinierha.blogspot.com/2009/06/seni-dan-ilmu-prognosis-periodontal.html Accessed March, 28th 2010.
6. Carranza FA. Glickman’s Clinical Periodontology. 7th ed, Philadelphia: WB Saunders Company; 1990. p. 587 – 590.
7. NN. Keadaan Psikososial Lansia. Available from : http://nandae.blogsome.com/2008/12/. Accessed November, 14th 2009.
8. Tarigan, Salamat. Pasien Prostodonsia Lanjut Usia : Beberapa Pertimbangan dalam Perawatan. 2005. Bidang Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Sumatera Utara. Available from: http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2005/ppgb_2005_slamat_tarigan.pdf. Accessed March, 28th 2010.
9. Smallcrab. Perubahan Fisiologis pada Usia Lanjut. http://www.smallcrab.com/lanjut-usia/470-perubahan-fisiologis-pada-usia-lanjut- Accessed March, 28th 2010.
10. Smallcrab.2009. Perubahan Sistem Kardiovaskuler pada Lanjut Usia. Available from:http://www.smallcrab.com/jantung/58-penyakit-jantung/453-perubahan-sistem-kardiovaskuler-pada-lanjut-usia. Accessed March, 28th 2010
11. Peter FF, Arthur R.V, John L.G. Silabus Periodontal. Jakarta : EGC; 2005. p. 28
12. Nisengard, Russel J.; Newman, Michael G. Oral Microbiology and Immunology 2nd ed. W.B. Saunders Company; 1994
13. Louis FR, Brian LM, Robert JG, and Walter CJ. Periodontics : Medicine Surgery and Implant. Missouri : Mosby Inc; 2004.
14. Martin SS. The Treatment of Periodontal Desease. 2000. Available from : http://www.doctorspiller.com/Treatment_of_Perio.htm. Accessed April 15th 2010.
15. Ratih Widyastuti: Periodontitis, Diagnosis, dan Perawatannya, Jurnal Ilmiah dan Teknologi Kedokteran Gigi FKG UPDM (B). 2009; 6(1): 32-35.
Yenny Maria, Pinandi Sri Pudyani: Penggunaan Mini Implant sebagai Penjangkaran dalam Perawatan Ortodontik Cekat, Majalah Kedokteran Gigi, 2008; 15(1): 99-104

Tidak ada komentar:

Posting Komentar